SAHKAH KHULU’ TANPA GANTI RUGI?
Sepasang suami istri telah menjalani kehidupan rumah tangga cukup lama. Tiba-tiba, istrinya meminta berpisah dengan alasan dirinya tidak bisa lagi mencintai suaminya. Setelah menjalani proses pembicaraan yang serius, sang suami menerima permintaan sang istri. Keduanya memahami bahwa hal itu adalah peristiwa khulu’. Akan tetapi, tidak ada pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari sang istri hingga sekarang. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
Fulan di bumi Allah
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah
Berdasarkan kasus yang diuraikan, tampak bagi kami kesimpulan dan jawaban sebagai berikut.
1 & 2. Kasus tersebut tidak jatuh sebagai hukum khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad), meskipun keduanya memahami bahwa kasus mereka adalah khulu’ dan sang suami menganggap dirinya telah menjatuhkan khulu’.
Hal ini disebabkan tidak adanya pembicaraan ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri atas permintaan khulu’ yang diajukannya, padahal itu adalah salah satu rukun khulu’ yang harus ada dalam kasus khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad nikah).
Ibnu Taimiyah menukilkan kesepakatan ulama bahwa kasus khulu’ tanpa pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari istri tidak bisa jatuh sebagai fasakh, sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191, cet. Darul Wafa’). Demikian pula dalam Zadul Ma’ad (5/675—676), Ibnul Qayyim menukilkan dari gurunya (Syaikhul Islam) adanya kesepakatan ulama dalam hal ini dan beliau membenarkannya.
Akan tetapi, apakah kasus tersebut jatuh sebagai talak? Jika yang dimaksud adalah talak ba’in[1], maka tidak. Hal ini menurut pendapat yang rajih bahwa seorang istri tidak dibenarkan untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan menceraikannya sebagai talak ba’in tanpa tebusan ganti rugi. Suami juga tidak berwenang untuk menjatuhkan hal itu,[2] karena hak raj’ah —hak suami untuk menariknya kembali sebagai istri tanpa akad baru selama dalam masa ‘iddah— yang gugur dengan talak ba’in merupakan hak Allah Allah Subhanahu wata’ala yang telah tetap dalam syariat ini dan tidak bisa diganggu gugat.
Oleh karena itu, keduanya tidak dibenarkan untuk bersepakat menggugurkan hak tersebut.
Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (5/675), Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar (2/370), dan As-Sa’di dalam Al-Fatawa As-Sa’diyyah (hlm. 389). Ibnu Taimiyah pun mendukungnya dalam Majmu’ Al-Fatawa (32/191). Beliau menyatakan, pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mayoritas riwayat yang tsabit (tetap) dari mayoritas sahabat.
Berdasarkan pendapat ini, apabila sang suami menjatuhkan khulu’ dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu (khusus) untuk khulu’, yaitu khulu’ (melepaskan), fasakh (membatalkan akad nikah) atau fida’/iftida’ (menerima tebusan) tanpa disertai niat menalaknya maka tidak ada sesuatu yang terjadi antara keduanya. Keduanya masih sebagai suami-istri.
Apabila sang suami menggunakan lafadz-lafadz khas tersebut atau lafadz lainnya yang merupakan bahasa kiasan untuk talak disertai dengan niat talak maka jatuh sebagai talak raj’i[3]. Demikian pula, jika menggunakan lafadz talak atau cerai yang jelas dan gamblang untuk talak, maka jatuh sebagai talak raj’i.[4]
3. Apabila tidak terjadi sesuatu pun dalam kasus ini berdasarkan keterangan di atas, keduanya masih sebagai suami-istri sampai sekarang. Hendaklah keduanya memproses ulang kasus khulu’ yang diinginkan dengan cara syar’i yang terpenuhi rukun-rukunnya, jika memang sang istri tidak bisa lagi mencintai suaminya dan khawatir terjerumus dalam nusyuz (pelanggaran hak suami yang wajib). Hal ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.
Dengan demikian, proses khulu’ pun jatuh dengan sah dan benar sebagai fasakh (pembatalan akad). Dengannya, keduanya bukan lagi suami-istri meskipun tanpa diproses di hadapan hakim (melalui Kantor Pengadilan Agama), menurut pendapat yang rajih. Akan tetapi, kami sarankan agar kasus ini diselesaikan secara administrasi pemerintahan di Kantor Pengadilan Agama agar tidak tersandung oleh hal-hal yang membingungkan dan memberatkannya di kemudian hari.
Setelah itu, hendaklah sang wanita menjalani masa ‘iddah (penantian) hingga haid satu kali dalam rangka pembebasan rahim dari bibit yang mungkin telah ada akibat hubungan suami-istri. Setelah masa ‘iddah itu selesai, sang wanita halal untuk menikah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, sang lelaki bekas suaminya memiliki hak untuk menikahinya kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya, jika keduanya ingin bersatu kembali.
Apabila yang terjadi sesuai uraian di atas, kasus tersebut adalah talak raj’i, maka kasusnya telah selesai dengan hukum talak raj’i tersebut. Jika sang lelaki ingin bersatu kembali, dia bisa menarik kembali istrinya sebagai istrinya tanpa akad yang baru, jika masih dalam masa ‘iddah (belum melewati tiga kali haid). Adapun jika masa ‘iddah-nya telah selesai, keduanya bisa bersatu kembali dengan akad nikah yang baru.
4. Yang harus dilakukan adalah bersegera memperjelas kasus yang dialaminya, kemudian menentukan langkah yang tepat berdasarkan bimbingan di atas, agar dirinya menjadi tenang dan bisa mantap melangkah ke depan tanpa beban.
Jika selama ini dia sering mengecewakan istrinya dengan kelalaian dan akhlaknya yang jelek, dia pantas merasa bersalah, lalu bertaubat kepada Allah Allah Subhanahu wata’ala atas semua itu. Jika istrinya kecewa kepadanya dan tidak bisa mencintainya lagi karena sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah Allah Subhanahu wata’ala atas dirinya dan di luar kemampuannya, hendaklah dia bersabar atas takdir Allah Allah Subhanahu wata’ala.
Terakhir, kami ingatkan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bertakwa kepada Allah Allah Subhanahu wata’ala dalam urusan-urusan mereka, agar tidak berucap dan bertindak tanpa bimbingan ilmu yang menerangi langkah mereka. Wallahul muwaffiq.
Sumber : Majalah Asy-Syariah
Catatan Kaki :
📚 KEUTAMAAN ILMU SYAR'I DAN HUKUM MEMPELAJARI ILMU DUNIA اﻟﻌﻠﻢ اﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻓﻲ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭاﻟﺴﻨﺔ ﻭاﻟﺬﻱ…
HUKUM SHALAT BERJAMAAH DENGAN SHAF TIDAK RAPAT DI MASA PANDEMI COVID-19 ✒️ Al Ustadz Abu…
TUNTUNAN MENGENAI UCAPAN SELAMAT HARI RAYA DAN WAKTU MENGUCAPKANNYA ✒️ Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad…
TATA CARA PELAKSANAAN SHALAT 'ID ✒️ Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah 1️⃣. Berniat…
PANDUAN PELAKSANAAN SHALAT 'ID DI MASA COVID-19 ✒️ Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah…
📝 BANTAHAN BAGI ORANG YANG MENAFIKAN IKHTIAR Ikhtiar itu ada dua macam : 1️⃣ Ikhtiar…