MEMPERSAKSIKAN TALAK DAN RUJU’
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah
MEMPERSAKSIKAN TALAK
Disyariatkan mempersaksikan talak yang dijatuhkan kepada dua saksi pria yang ‘adl; istiqamah (tidak fasik). Dalilnya adalah hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ, ثُمَّ يَقَعُ بِهَا وَلَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَلاَ عَلَى رَجْعَتِهَا. فَقَالَ: طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَرَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، أَشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَعَلَى رَجْعَتِهَا وَلَا تَعُدْ
“Imran bin Hushain ditanya tentang seorang lelaki yang menalak istrinya, kemudian ia menggaulinya (merujuknya) dalam keadaan tidak mempersaksikan talak dan rujuknya. ‘Imran berkata, ‘Kamu telah menalak tanpa mengikuti sunnah dan rujuk tidak menurut sunnah. Persaksikanlah talakmu dan rujukmu (sekarang), dan janganlah kamu ulangi hal itu!’.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Disahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)[1]
Pada hadits ini ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu menisbahkan talak dan rujuk dengan persaksian sebagai sunnah. Maksudnya adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan selainnya.
Hal ini dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, serta persaksikanlah dengan dua orang saksi yang istiqamah (tidak fasik) di antara kalian, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (ath-Thalaq: 2)
Ini apabila perintah Allah Subhanahu wata’ala, “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang istiqamah (tidak fasik)” dianggap tertuju pada talak dan rujuk, sebagaimana tafsir yang dipilih oleh as-Sa’di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman.
Menurut tafsir lainnya, perintah tersebut hanya tertuju kepada rujuk sehingga ayat ini bukan dalil. Tafsir ini yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Alasan mereka, perintah tersebut datang setelah perintah melakukan rujuk dengan baik.
Terdapat dua pendapat tentang hukumnya:
Yang menunjukkan bahwa mempersaksikan talak hukumnya tidak wajib adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu tentang kasus perceraiannya dengan istrinya yang dijatuhkannya saat haid, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mempertanyakan talaknya apakah dia mempersaksikannya atau tidak?
Adapun hadits ‘Imran Radhiyallahu ‘anhu, yang hukumnya marfu’ (dinisbahkan sebagai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) adalah mempersaksikan talak dan rujuk yang boleh jadi wajib dan boleh jadi sunnah. Perintah yang ada pada hadits itu adalah ucapan ‘Imran sendiri yang bisa jadi hasil ijtihadnya. Wallahu a’lam.
Yang jelas, mempersaksikan talak dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh sebagaimana ditunjukkan hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu.
MEMPERSAKSIKAN RUJUK
Disyariatkan pula mengumumkan dan mempersaksikan rujuk kepada dua saksi laki-laki yang ‘adl (istiqamah) berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain dan ayat di atas.
Terdapat dua pendapat tentang hukumnya.
a. Rujuk adalah hak suami menggenggam kembali miliknya tanpa dipersyaratkan kerelaan istri sehingga tidak wajib mempersaksikannya.
b. Pada hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada ‘Umar:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya.” (Muttafaq ‘alaih)
Di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahnya agar rujuk tanpa memerintahkan untuk mempersaksikan rujuknya itu.
c. Rujuk adalah pasangan talak, dan mempersaksikan talak hukumnya hanya sunnah, tidak wajib. Demikian pula hukum mempersaksikan rujuk.
Adapun hadits ‘Imran, yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) telah dijawab di atas.
As-Sa’di dan Ibnu ‘Utsaimin dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram merajihkan pendapat jumhur. Namun, dalam asy-Syarh al-Mumti’, Ibnu ‘Utsaimin memberi rincian:
Inilah yang rajih, insya Allah.
Yang jelas, mempersaksikan rujuk dapat dilakukan saat rujuk atau
disusulkan setelah rujuk terjadi, sebagaimana pada hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu
‘anhu. Tidak mesti dilakukan saat rujuk karena jatuhnya rujuk tidak
bergantung pada adanya saksi. Jika ia merujuknya dengan senggama disertai niat
rujuk, tidak mungkin mempersaksikannya saat rujuk.
Wallahu a’lam.
Sumber : Majalah Asy-Syariah
Catatan Kaki:
📚 KEUTAMAAN ILMU SYAR'I DAN HUKUM MEMPELAJARI ILMU DUNIA اﻟﻌﻠﻢ اﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻓﻲ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭاﻟﺴﻨﺔ ﻭاﻟﺬﻱ…
HUKUM SHALAT BERJAMAAH DENGAN SHAF TIDAK RAPAT DI MASA PANDEMI COVID-19 ✒️ Al Ustadz Abu…
TUNTUNAN MENGENAI UCAPAN SELAMAT HARI RAYA DAN WAKTU MENGUCAPKANNYA ✒️ Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad…
TATA CARA PELAKSANAAN SHALAT 'ID ✒️ Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah 1️⃣. Berniat…
PANDUAN PELAKSANAAN SHALAT 'ID DI MASA COVID-19 ✒️ Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullah…
📝 BANTAHAN BAGI ORANG YANG MENAFIKAN IKHTIAR Ikhtiar itu ada dua macam : 1️⃣ Ikhtiar…